Kartini dan Hidupnya; Heroisme, Cita-Cita, Hingga Pandangannya Terhadap Poligami -->

Silakan ketik kata kunci

Recent Posts

Kartini dan Hidupnya; Heroisme, Cita-Cita, Hingga Pandangannya Terhadap Poligami

 

Oleh Rafif Amir

Heroisme dan Cita-Cita 

Usianya terlampau singkat. Hanya 25 tahun. Tapi buah pikirnya menjadi perbincangan hingga lebih dari seabad.

Namanya harum. Sebagaimana syair lagu "Ibu Kita Kartini" ciptaan WR Supratman. Tahun 1964, Soekarno menetapkannya sebagai pahlawan nasional. 60 tahun setelah kepergiannya.

Kartini bukan wanita biasa. Ia tampil cemerlang di antara gadis seusia. Begitu heroik dan "keras kepala". Seluruh hidupnya adalah perjuangan. Siti Soemandari Soeroto dalam bukunya yang tebal, "Kartini Sebuah Biografi" mengungkapkan: "Seluruh perjuangan Kartini ialah satu perjuangan heroik untuk memenangkan unsur-unsur modernisme Barat yang baik, tetapi dalam pada itu juga tetap mempertahankan esensi watak dan kepribadian bangsa kita yang positif".

Sebagai wanita Jawa yang dipingit, ia ingin hidup merdeka. Wanita juga berhak atas pendidikan. Itu yang terus ia suarakan. Karena itu, ia harus keluar dari sangkar. "Betapa indah dan mewahnya sebuah kurungan, bagi burung yang disekap di dalamnya, ia tetap kurungan!" Begitu bunya surat Kartini yang ditujukan pada Ny. Abendanon, Agustus 1900.

Tekadnya bulat. Ia harus berangkat ke Eropa. Ke Belanda. Menuntut ilmu. Tapi ibunya menentang.

"Harus ada yang memulai!" Kartini bersikeras.

"Segala permulaan akan sukar. Banyak perintis yang hidup sengsara. Diejek, dicemoohkan." Ibunya berusaha mengubah pendirian.

"Bertahun-tahun, sudah saya pikirkan matang-matang," kata Kartini.

Dan ia berkata dengan sangat meyakinkan, di depan orang yang mengandungnya itu: "Kendati saya gugur di tengah jalan, saya akan mati bahagia. Karena jalan telah dirintis, dan saya telah ikut mendobrak jalan itu menuju kebebasan dan kemerdekaan wanita Indonesia!"

Keinginannya tak terbendung. Usia 23 tahun, ia menulis surat untuk parlemen di Belanda. Memuat cita-citanya yang tinggi. Ia ingin belajar ilmu kedokteran di sana. Agar kelak, bisa mengangkat para wanita Jawa lainnya. Ia akan mendirikan sekolah-sekolah khusus untuk gadis-gadis Jawa. Termasuk anak-anak putri para bupati.

Kartini ingin menjadi guru. Itulah cita-citanya yang luhur.

"Saya ingin sekali menuntun mereka, membentuk wataknya, mengembangkan otaknya yang muda, membina mereka menjadi wanita di hari depan, yang menerus segala yang baik-baik. Masyarakat pasti akan bahagia, bilaman wanita-wanitanya mendapat pendidikan yang baik." Demikin curahan hati Kartini pada Ny. Van Kol, Agustus 1901.

Tapi cita-cita Kartini untuk sekolah di Belanda terganjal. Parlemen Belanda menerima permohonannya. Namun Mr Abendanon, Direktur Bidang Pendidikan Hindia Belanda berusa membujuk Kartini. Kartini akan disekolahkan di Batavia.

Di tengah rencana menggebu-gebu itu, datang lelaki melamar Kartini. Bupati Rembang. Raden Adipati Djojo Adiningrat. Duda dengan enam anak.

Kartini menerima, dengan syarat yang ketat. Pertama, ia harus menyetujui seluruh gagasan dan cita-cita Kartini. Kedua, Kartini boleh membuka sekolah dan mengajar para putri pejabat di Rembang.

Dua syarat itu diterima. Setelah gagal dan kecewa tak dapat sekolah ke Batavia, kini harapan Kartini bangkit lagi.

Namun hidup Kartini tak sepanjang cita-citanya. Hanya setahun berselang, Kartini dipanggil Tuhan. Pasca melahirkan anak pertamanya.

Tapi perjuangan Kartini tetap hidup di dalam dada wanita-wanita Indonesia. Hingga saat ini.

Menekuri Literasi

Kartini adalah pembaca yang tekun. Buku-buku tentang politik dan revolusi, buku-buku sosial, sastra dan kebudayaan habis dilahapnya. Berbagai majalah dan koran tak luput pula menjadi menu utamanya. 

Ia tak kekurangan bahan bacaan. Ayahnya dengan setia memanjakan Kartini dengan buku-buku. Sebagian adalah buku "berat" bagi seorang gadis 13 tahun.

Kadang tak cukup sekali. Kartini sering mengulangi lagi apa yang sudah ia baca. Hingga tiga atau empat kali. Sampai ia mengerti. Ia tak suka banyak bertanya. Ia akan memeras otaknya, sampai ia benar-benar paham akan persoalan yang sedang ia baca.

Kartini adalah pembaca kritis. Ia menilai setiap bacaan dan mendiskusikannya dengan diri sendiri. Segala yang dapat ia terima, lalu mengkristal dalam sikap dan pendiriannya.

Belajar bagi Kartini adalah suatu tekad. Ia rela mengurangi waktu makan dan tidur, demi dihabiskan untuk menekuri ilmu. Memelototi lembar demi lembar buku.

Kecintaan pada buku inilah yang membuat Kartini tertarik untuk menulis. Usia 16 tahun ia menorehkan tinta pertamanya. Tiga tahun kemudian karangannya itu dimuat di TLV.

Namanya pun mulai dikenal. Tulisan-tulisan berikutnya dimuat di majalah De Echo, dan surat kabar De Locomotief --surat kabar terbesar di zamannya-- memberikan pujian. Ia menggunakan nama pena "Tiga Soedara".

Namun pujian bukan yang ia harapkan. Ia menulis karena kegelisahan yang menderanya. Menyuarakan suara hatinya. Dengan cara seperti itu, ia menjadi merdeka.

Kartini juga penikmat puisi dan seni. Baginya, semua yang agung dan indah dalam hidup ini adalah puisi. Semua yang menggetarkan jiwa, yang memuliakan dan memperindah adalah puisi.

"Bangsa yang masih memiliki citarasa pada puisi, barang yang paling indah dan paling juwita dalam semua kehidupan manusia, bangsa ini tidak mungkin rendah kebudayaannya. Rakyat Jawa dan puisi sangat erat berkaitan. Orang Jawa yang paling rendah pun masih puitis," tulis Kartini dalam suratnya kepada Stella, 15 Agustus 1902.

Empati pada Rakyat Kecil

Suatu hari, Kartini kecil melihat anak umur 6 tahun menjual rumput. Anak itu tak punya ayah. Ibunya bekerja. Sementara di rumah, dua adiknya menunggu. Mereka hanya makan sehari sekali. Batin Kartini tersentak.

Kartini dan ayahnya memberi anak itu makan. Tetapi tak dimakan. Melainkan dibawa pulang. Mungkin untuk dibagi dengan adik-adiknya. Kartini merenung. Ia seperti tersadar sesuatu.

"Saya merasa malu sedalam-dalamnya akan egoisme saya. Saya hanya memikirkan keadaan diri saya sendiri, sementara di sekitara saya ada begitu banyak orang yang menderita dan perlu dikasihani!"

"Rasanya seolah-olah udara sekitar saya penuh jeritan, keluhan dan rintihan orang-orang yang menderita. Dan lebih keras lagi dari segala jeritan dan rintihan itu menggema di telinga saya: Kerja! Kerja! Kerjalah! Bebaskanlah dirimu! Baru bila kau berhasil membebaskan dirimu dengan bekerja, dapatlah kau menolong orang lain."

Demikian jeritan hatinya yang dihimpun dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang".

Kartini lahir dari keluarga ningrat. Tapi ia tak senang diperlakukan sebagai bangsawan. Jiwanya memberontak. Ia menggugat tradisi Jawa yang "mengharuskan" orang-orang tua berjalan merangkak di hadapan anak seorang priyayi.

"Sungguh menusuk. Sakit hati saya," katanya. 

Suatu kali, ia menggigit bibirnya kuat-kuat, saat melihat seorang Belanda memukul anak-anak dan perempuan dengan kayu. Hanya karena mereka tak segera memberi jalan pada orang Belanda yang mau lewat itu. Ia ingin menjerit, tapi hanya di hati.

Kritik tajam Kartini diarahkan pada kalangan ningrat yang egoistis. Menurutnya, para bangsawan tak layak disanjung-puja. Sebab seharusnya, seseorang dinilai dari jiwa dan pekertinya yang luhur. Bukan karena gelar, kedudukan, atau keturunan. 

Kartini dan Poligami

Kartini menentang poligami. Tetapi sejauh mana sikapnya, saya belum menelusuri terlampau jauh. Apakah hanya bentuk keprihatinan atau menolak secara mutlak.

Saat itu, poligami menjadi sesuatu yang lumrah di kalangan bangsawan. Mereka memiliki istri yang dianggap "permaisuri" atau disebut juga padmi. Dan beberapa orang selir.

Suami Kartini sendiri, ternyata memiliki tiga orang selir. Tapi berdasarkan literatur yang saya tekuri, sepertinya mulanya Kartini tidak mengatahui hal ini. Ia baru tahu itu, setelah sampai di Rembang. Rumah suaminya.

Sikap Kartini pada poligami didasari beberapa hal. Pertama, karena banyaknya pernikahan yang berlangsung secara "terpaksa". Wanita tak bisa memilih. Wanita tak punya kuasa untuk menolak.

"Perkawinan yang mestinya merupakan panggilan suci, telah menjadi semacam jabatan!" keluh Kartini dalam suratnya kepada Ny. N. van Kol.

Budaya patriarki yang kental saat itu, membuat Kartini menganggap wanita diperlakukan tak lebih seperti barang. Bagi Kartini, itu tidak adil. Seorang wanita bisa diceraikan kapan saja, sementara mereka tak berhak menuntut cerai. Seolah, mereka tak punya hak untuk bahagia.

Kaum wanita menjadi marjinal. Terbelakang. Sudah tak mengecap pendidikan sebagaimana laki-laki, harus diperlakukan semena-mena pula.

Jika dicermati, sebenarnya Kartini menggugat tradisi. Bukan syariat. Praktik poligami dan perlakuan terhadap wanita yang keliru.

Namun, secara terang dalam suratnya kepada N. van Kol, Maret 1903, Kartini menulis: "Masyarakat bumiputera sekali-kali tidak boleh tahu bahwa yang hendak kami berantas ialah: poligami!"

Itulah "misi" tersembunyi Kartini, di balik mengajar anak-anak gadis priyayi.

Menariknya, di suratnya yang lain, setahun setelah surat untuk van Kol itu, Kartini menulis tentang keadaan rumah tangganya. Jelas tersirat, ia bahagia.

"Saya tahu bahwa Tuan dan Nyonya tentu akan senang, jika mendengar bahwa kalian yang pikirannya selalu gelisah itu sekarang telah tiba di pelabuhan yang aman..."

Entah itu benar ekspresi jiwanya atau hanya kepura-puraan. Jika benar ia bahagia, maka berarti ia telah bisa menerima kedudukannya sebagai seorang istri sekaligus padmi di antara para selir. Namun jika sebaliknya, berarti ia telah kehilangan "semangat memberontak" yang selama ini didengungkannya. Sebab ia pernah mengatakan, membenci kepura-puraan wanita Jawa yang seolah bahagia di muka padahal terluka batinnya.

Join Telegram @rafifamir @rafif_amir
Cancel