Menghimpun Kembali Rasa Membaca yang Berserakan -->

Silakan ketik kata kunci

Recent Posts

Menghimpun Kembali Rasa Membaca yang Berserakan

 




Oleh: Romi Anshorulloh

 

Ketika masih kecil, sering melihat kebiasaan ayah dan kakek kita, terutama yang tinggal di daerah perkotaan, anteng di sudut rumah membaca koran sambil ditemani kopi dan rokok. Jangan ditanya, seberapa lama koran itu benar-benar membius mereka. Dipanggil-panggil pun tidak akan menoleh, saking asyiknya membaca.

Kadang, melihat seorang kakek yang telaten membaca kembali kitab kuning. Lumayan tipis, tetapi yang membuat bergetar adalah isinya berbahasa Arab, tanpa harakat. Hanya manusia dengan level tertentu, yang bisa mengerti di mana peletakan kasrah dan damah. Keliru peletakan akan keliru dalam arti. Keliru dalam arti bisa fatal dalam hukum. Lelaki sepuh itu begitu damai dalam telaahnya, sedamai sore itu.

Abdurahman Faiz berkata “Buku adalah sahabat paling setia, rela mendampingi sepanjang waktu di mana pun aku berada tanpa pernah memikirkan dirinya.” Rasanya relevan dengan Pelajaran Mahfudzot dulu, yang pernah mondok pasti tahu pelajaran ini. Pelajaran yang khusus berisi quote, puisi, kata-kata menyengat pembangun semangat “Sebaik-baiknya teman duduk sepanjang masa adalah buku.” Pernahkah kita mendapati buku cerewet minta dibelikan pulsa quota, atau merajuk menuntut para lelaki yang tabiatnya pelupa, minta maaf karena lupa mengucapkan selamat ulang tahun?

Zaman sekarang lelaki tua yang sedang sibuk membaca koran, sepasang suami istri di kereta api yang mengisi waktunya dengan membaca majalah Intisari, atau seorang santri di sudut rumahnya sedang sibuk menderes isi kitab yang baru saja dipelajarinya, semakin jarang kita lihat. Memang, sekarang kitab banyak digantikan oleh e-book dalam gawai. Hal itu cukup baik sejatinya. Namun, sisanya anak negeri meskipun tidak semua pikirannya diisi oleh berita-berita gosip dan hoaks. Tentu ini miris sekali. 


Estafet Tradisi Intelektual

Goenawan Mohammad mengatakan “Kemampuan membaca itu rahmat, kegemaran membaca sebuah kebahagiaan.”

Ada rahasia yang menarik mengapa para ulama sangat produktif menulis. Rahasianya adalah membaca. Mereka sangat gandrung untuk membaca dan tidak membiarkan waktu berlalu tanpa membaca. Ini menarik, mengingat kebiasaan saat ini banyak diisi kegiatan selain membaca.

Kegemaran membaca para ulama generasi gemilang ini tidak “Gemen-gemen.” Imam Nawawi menjelaskan saat ditanya bagaimana pola tidurnya “Apabila rasa kantuk datang, saya jatuhkan kepala saya sejenak di atas meja tempat kitab yang sedang saya pelajari, kemudian saya bangun lagi.”

Penghayatan yang kuat tentang makna Iqra’ yang turun sebagai ayat pertama dari Allah kepada Nabi Muhammad, menjadikan Al-Fatih bin Khaqon, salah satu ulama yang sering hadir dalam majelis pada zaman Khalifah Al-Mutawakkil, saat harus keluar majelis menuju kamar kecil, ia menyempatkan membaca buku yang sudah ia siapkan di tasnya.

Tentu jika diceritakan satu per satu banyak perilaku membaca para ulama yang menurut kita tidak lazim, tetapi spiritnya mengingat membaca adalah modal untuk membuat banyak karya peradaban. Maukah kita melanjutkan tradisi membaca?

 

Membaca Hari Ini Lawan Hoaks

Mungkin tidak nyaman, bila dikatakan termasuk bangsa yang kurang membaca. Namun, bertebaran hoaks di mana-mana. Betahnya scroll media sosial menjadi salah satu indikator rendahnya kemampuan literasi kita. Bagaimana hal ini bisa terjadi?

Bila melihat pola, betapa mudahnya orang menyebarkan berita hoaks hanya dengan membaca judulnya saja. Tampaknya bisa dirunut dari rendahnya keinginan pembaca untuk merunut tanpa menganalisa isi dan mempertanyakan sumbernya.

Bagaimana solusinya? Berliterasi menjadi solusi untuk memberantas hoaks. Sebab kebiasaan literasi akan terbawa ke mana pun saat informasi itu hinggap baik di gawai, brosur, atau di mana pun dengan cara yang mendasar sekali. Yaitu dengan selalu bertanya kapan itu terjadi, di mana kejadiannya, bagaimana itu terjadi, kenapa itu terjadi, dan yang terpenting dari siapa sumbernya.

Allah sudah mengingatkan beberapa abad lampau, terekam dalam surah Al-Hujurat: 6 yang artinya “Hai orang yang beriman, jika datang orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa kamu mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Editor: Suyanik

Join Telegram @rafifamir @rafif_amir
Cancel