Imam di Luar, Makmum di Dalam -->

Silakan ketik kata kunci

Recent Posts

Imam di Luar, Makmum di Dalam



Oleh Winda Ariyanita
Mungkin ini bukan pertama kalinya aku menceritakan tentang sulitnya berproses menjadi seorang pemimpin. Peran yang tak pernah kuharapkan. Maaf, bukan aku mengeluh, tetapi izinkan aku bercerita dari sudut pandang perempuan.
Dunia aktivis bukan barang baru lagi bagiku. Meski begitu, bukan berarti aku siap berada di posisi puncak. Toh, aku melihat banyak kaum adam di sekitarku. Setidaknya, mereka lebih pantas dibandingkan aku yang saat itu sudah sangat siap dipimpin oleh siapa pun orangnya.
Ini berkaitan langsung dengan peranku di rumah. Selama ini, sejak lulus sekolah, kusadari mental kepemimpinanku terbentuk karena jabatan yang pernah kuemban di Rohis. Wakil ketua 2 (seharusnya hanya memimpin siswa keputrian) yang sempat ditinggalkan ketuanya.
Aku bersekolah di SMK manajemen. Mayoritas siswanya adalah perempuan. Jadi, aku cukup tenang dan senang ketika di Rohis ada siswa laki-laki dan diangkat menjadi Ketua dan Wakil Ketua 1. Namun, mungkin ekspektasiku terlalu besar. Di hari yang entah ke berapa, mereka berdua tak ada kabar. Komunikasi kami pun tersendat karena terkendala media dan jarak. Memang saat itu adalah masa di mana kami harus Praktik Kerja Lapangan. Dengan alasan itulah, akhirnya kami saling memaklumi.
Ah, memaklumi. Wallahi, aku jadi skeptis dengan kata ini. Kata yang bisa membuat orang menghalalkan segala cara untuk tidak mendorong diri sendiri melakukan hal yang terbaik. Ya, memang manusiawi, tetapi kita harus sadar diri juga kalau kita sedang mengemban amanah di jalan dakwah. Tidak bisa kita bersantai-santai ria mengerjakannya. Tugas ini berat. Banyak orang yang harus diarahkan, dipimpin, dan diingatkan. Kalau tugas sudah dibagi, harusnya kerjakan sesuai porsi. Jangan melimpahkannya ke orang lain hanya karena merasa tak punya waktu mengerjakannya. Itu namanya kau abai dengan tanggung jawab.
“Namanya juga manusia.” Aku paham bagaimana bersikap manusiawi. Akan tetapi, apakah yang meninggalkan tugas dakwah tidak berpikir bahwa dengan absennya dia justru sedang bersikap tidak manusiawi terhadap orang lain?
Berpikir pragmatis, terpaksa aku mengambil peran itu. Mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa meninggalkan orang-orang terdekatku kebingungan sendirian. Mungkin ini efek dari serial kartun yang sering kubaca dan kutonton, yang mengajarkan bahwa hanya pengecut yang tidak bertanggung jawab, yang bisa dengan mudahnya meninggalkan orang-orang terdekat. Aku membenci itu. Sebab itulah, aku tidak akan pernah melakukannya.
Namun kemudian setelah lulus sekolah, seharusnya mental kepemimpinan itu kusesuaikan dengan keadaan. Aku anak kedua. Terlalu vokal di rumah, membuat kakakku yang seorang laki-laki seperti tak mendapatkan panggung. Maka setelah resign dari pekerjaan selama delapan tahun, kuputuskan menurunkan modeku menjadi makmum.
Hal yang cukup sulit. Aku harus mengajarkan kakakku menjadi pemimpin supaya kelak dia juga bisa menjadi pemimpin untuk keluarganya. Aku menjadi penuntut. Meminta ini dan meminta itu. Bagaimanapun caranya, targetku adalah membuatnya menjadi seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Karena selama ini, aku sangat memakluminya untuk tak membantu perbelanjaan yang seharusnya dilakukan anak laki-laki sebab pekerjaannya yang terbilang tak pasti.
Lalu di saat yang sama, amanah menjadi pemimpin datang lagi dari organisasi yang kugeluti. Duh! Aku sudah menyalakan modeku menjadi makmum, sekarang harus mengganti lagi menjadi imam? Bisakah kau bayangkan orang yang harus bolak balik ke Kutub Utara dan Kutub Selatan secara masif dalam waktu yang sama atau berdekatan? Ngos-ngosan!
Namun, kemudian aku belajar untuk ikhlas menjalaninya. Jangan pikir ini mudah. Selama beberapa bulan, mentalku sempat down karena merasa tak bisa menerima. Harus menyalakan mode imam di luar rumah dan makmum di keluarga. Mengeluh, percuma. Tidak akan menyelesaikan masalah. Karena itulah aku memilih berdamai dengan keadaan.
Qadarullah, berkat bantuan orang-orang yang masih peduli padaku, memahami, dan memaafkan kesalahanku, akhirnya aku sadar, bahwa menjadi pemimpin tidak bisa dihindari. Setiap orang adalah pemimpin, setidaknya bagi diri sendiri. Amanah tidak akan pernah salah memilih pundak. Dia akan datang walau tanpa diminta. Tapi mungkin ini cara Allah mengajariku menjadi sesuai apa yang kuminta. Agar dimampukan untuk menjadi salah satu pengemban dakwah-Nya.
Sekarang aku berpikir begitu saja. Apa pun amanah yang datang padaku akan kuterima dengan lapang dada. Berserah pada Allah yang Maha Kuasa ternyata lebih menenangkan hati daripada kekeh menganggap diri tak pantas mengembannya. Aku hanya perlu melakukan usaha terbaik, lalu hasilnya biar Allah saya yang menentukan.


Editor: Fie R

Join Telegram @rafifamir @rafif_amir
Cancel